Kamis, 22 September 2011

MULTIFINANCE DI TENGAH ANCAMAN BUBBLE OTOMOTIF

             Industri multifinance terus tumbuh dengan mesin utama dari pembiayaan konsumsi terutama produk kendaraan bermotor. Produsen otomotif dan kalangan perbankan pun mengakui kepiawaian perusahaan multifinance dalam bisnis pembiayaan otomotif. Tapi, kemudahan kredit kendaraan bermotor dikhawatirkan bisa menciptakaan “bubble” otomotif dan industri multifinance akan terseret jika itu terjadi.  Bagaimana prospek bisnis multifinance jika terus didominasi pembiayaan otomotif? Bagaimana hasil Rating 161 Multifinance versi Infobank 2011?

Karnoto Mohamad

            DAYA serap pasar kendaraan bermotor membuat hati para pelaku bisnis otomotif berbunga-bunga. Tahun lalu, penjualan mobil mencapai 764.710 unit, tumbuh 58% tahun sebelumnya. Volume penjualan mobil nasional ini berhasil melewati penjualan mobil di Malaysia yang hanya sebesar 605.156 unit pada 2010. Ajang pameran otomotif seperti Indonesia International Motor Show (IIMS) yang selalu dipadati pengunjung menjadi etalase bergairahnya pasar dalam merespon mobil-mobil baru yang masuk ke pasar. Setelah membukukan penjualan mobil pada enam bulan pertama sebesar 417.687, banyak kalangan memprediksi penjualan mobil sampai akhir tahun bisa menembus lebih dari 830 ribu unit.
            Selain kendaraan roda empat, gairah pertumbuhan bisnis otomotif juga disokong penjualan kendaraan roda dua atau sepeda motor. Tahun lalu, penjualan sepeda  motor mencapai 7,37 juta dan diproyeksikan menembus 8,3 juta tahun ini. Tingginya penjualan mobil yang harganya Rp150 juta ke atas tidak serta-merta menggambarkan kemakmuran orang Indonesia. Sebab, menurut riset Frost & Sullivan, orang Indonesia harus menabung selama 104 bulan atau 8,6 tahun untuk mendapatkan mobil baru. Bandingkan dengan orang di Malaysia yang rata-rata gajinya hanya butuh waktu 8 bulan sudah dapat membeli mobil baru. Sedangkan Thailand yakni gaji 19 bulan dan Filipina gaji 21 bulan.
            Tingginya penjualan otomotif di Indonesia lebih didorong buruknya sarana transportasi massal dan kemudahan mendapatkan kredit dari lembaga keuangan. Perusahaan pembiayaan (multifinance) adalah lembaga yang diakui kepiawaiannya dalam menawarkan jasa pembiayaan kendaraan bermotor secara cepat. Perbankan yang memiliki sumber pendanaan murah, menghindari untuk bertarung dan memilih berkongsi dengan multifinance baik dengan pemberian kredit modal kerja, pembiayaan bersama (joint financing), maupun channeling. Bahkan, perkongsian yang lebih intim lagi sudah banyak terjadi dengan banyaknya bank-bank papan atas yang menguasai saham perusahaan pembiayaan.
            Perkongsian bank dan multifinance ini melahirkan tenaga besar yang mendorong penjualan otomotif terus tumbuh signifikan. Maklum, sekitar 90% pembelian kendaraan bermotor dilakukan secara kredit oleh konsumen. Namun, kemudahan kredit otomotif ini mendapatkan warning dari Bank Indonesia (BI). Menurut Hartadi A Sarwono, Deputi Gubernur BI,  potensi terjadinya bubble di sektor automotif sudah cukup terlihat dengan jumlah permintaan yang terlalu cepat.
            Namun, kalangan praktisi multifinance menepis kecemasan itu. Menurut Wiwie Kurnia, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), pertumbuhan penjualan kendaraan bermotor masih wajar, dan non performing loan (NPL) kreditnya juga menurun. “Kalau memang bubble sudah pasti bahana untuk semua pihak, termasuk ekonomi Indonesia. Tapi bubble atau tidak itu dasarnya apa, kalau sektor otomotif masih oke karena naiknya masih wajar dan NPL-nya turun,” ujarnya kepada Infobank lewat BlackBerry Messanger.
            Menurut Biro Riset Infobank, pembiayaan macet di industri multifinance sebesar 1,32% per April 2011. NPL ini menurun dibanding posisi akhir 2010 yang sebesar 1,37% atau pada akhir 2009 yang mencapai 1,91%. Meningkatnya performa industri multifinance juga terlihat dengan asetnya naik 34,10% menjadi Rp222,20 triliun dan pembiayaannya yang tumbuh 33,30% menjadi Rp182,86 triliun pada 2010.
            Penguatan kinerja ini sejalan dengan upaya mendisiplinkan industri multifinance oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) selalu regulator. Beberapa tahun terakhir, Bapepam-LK bertindak tegas dengan menyabut izin perusahaan yang bandel dan tak serius. Jika pada 2007 ada 217 perusahaan pembiayaan yang mengantongi izin, sampai akhir tahun lalu hanya 192 perusahaan yang mengantongi izin.
Menurut Ihsanuddin, Kepala Biro Pembiayaan Bapepam-LK, sepanjang 2010 pihaknya mencabut izin 13 perusahaan multifinance. “Masalahnya bervariasi.  Ada yang sebetulnya mereka sudah lama tidak melakukan kegiatan usaha, akhirnya sudah jebol, dan kami tidak bisa memberi ampun lagi.  Lalu, karena akibatnya diam  terus sehingga ekuitasnya ikut jebol,” ujarnya dalam diskusi tertutup dengan tim redaksi Infobank.
Penyebab dicabutnya izin perusahaan multifinance juga ada yang dikarenakan karena sudah mengalihkan kegiatan usaha ke bidang lain seperti perdagangan umum atau pertambangan. “Tapi, rata-rata yang dicabut itu karena pelanggaran-pelanggaran  yang dilakukan dan pemiliknya tidak mau menambah modal,” imbuh Ihsanuddin.
Tahun ini sampai Juli lalu, belum ada perusahaan multifinance yang izinnya dicabut. Tapi, ada 28 perusahaan yang telah diberi sanksi dari Bapepam-LK karena berbagai ketidakpatuhan.  Sebagian besar atau 20 perusahaan dinilai terlambat membuat laporan audited. Ada tujuh perusahaan diberi sanksi karena pemeriksaan, dan dua diantaranya telah diberi surat peringatan kedua. Kalau dua perusahaan yang bandel ini tidak merespon regulator untuk memperbaiki diri, sangat mungkin mereka akan membuat industri ini kembali diwarnai pencabutan izin tahun ini.
Selain bertindak tegas, regulator juga memperketat penyaringan pengurus-pengurus perusahaan multifinance yang berkompeten dan berintegritas. Langkah Bapepam LK meningkatkan kualifikasi penilaian dalam fit and proper test pada 2010 membuat banyak calon direksi dan komisaris perusahaan pembiayaan yang tak lulus. Menurut data Biro Pembiayaan Bapepam-LK, Pada 2009, dari 142 orang yang mengikuti fit and proper test ada 9 orang tak lulus. Pada 2010, dari 142 orang ada 10 yang tak lulus. Dan pada enam bulan pertama 2011, dari 110 orang yang mengikuti tes hanya 8 yang lulus.
            Upaya regulator mendisiplinkan industri dan memperketat kualifikasi pengurus perusahaan multifinance diharapkan membuat perusahaan multifinance makin sehat, taat aturan, dan dikelola oleh praktisi yang berkompeten. Menurut data Biro Riset Infobank, dari 192 perusahaan yang mengantongi izin, hanya 159 perusahaan yang menerbitkan laporan publikasi. Namun, jumlah pemain yang tak mengeluarkan laporan keuangan ini mengalami penurunan jumlahnya.
Dalam Rating 161 Multifinance Versi Infobank 2011, jumlah perusahaan pembiayaan yang meraih predikat “sangat bagus” mencapai 85 perusahaan, bertambah dari rating sebelumnya yang sebesar 75 perusahaan. Mayoritas perusahaan pembiayaan papan atas mampu meraih predikat ‘sangat bagus”.
Untuk kelompok perusahaan pembiayaan beraset Rp1 triliun ke atas ada 25 pemain yang mencetak predikat “sangat bagus”. Dari perolehan skor teratas 10 pemainnya secara berurutan adalah 1) BFI Finance Indonesia; 2) Adira Dinamika Multi Finance; 3) BCA Finance; 4) FIF; 5) Clipan Finance Indonesia; 6) Mandala Multifinance; 7) Multindo Auto Finance; 8) Swadharma Bhakti Sedaya Finance; 9) Buana Finance; dan 10) Sunprima Nusantara Pembiayaan.
Untuk kelompok perusahaan pembiayaan beraset Rp100 miliar sampai degan di bawah Rp1 triliun, terdapat 47 pemain yang meraih predikat “sangat bagus”. Dari sisi skor, 10 besarnya secara berurutan adalah 1) Batavia Prosperindo Finance; 2) Asrta Multi Finance; 3) National Finance; 4) Smart Multi Finance; 5) Beta Inti Multifinance; 6) Resona Indonesia Finance; 7) Trust Finance Indonesia; 8) Mega Auto Finance; 9) Bentara Sinergies Multifinance, dan 10) CIMB Niaga Auto Finance.
Sedangkan perusahaan dengan aset di bawah Rp100 miliar, hanya 13 pemain yang meraih predikat “sangat bagus”. Dari perolehan skor teratas 10 pemainnya secara berurutan adalah 1) Prataam Sedaya Finance; 2) Danareksa Finance; 3) Jaya Fuji Leasing Indonesia; 4) AEON Credit Services Indonesia; 5) Tirta Larastama Dinamika Finance; 6) Murni Upaya Raya Nilai Into Finance; 7) Otomas Multifinance; 8) Fortuna Multifinance; 9) Sumber Artha Mas Finance; dan 10) Reksa Finance.
Sebagian besar perusahaan pembiayaan peraih predikat “sangat bagus” membukukan pertumbuhan pembiayaan maupun laba di atas rata-rata. Pemain yang portofolio pembiayaan dominan di kendaraan bermotor bahkan mampu mencetak pertumbuhan berlipat ganda. Selain permintaan pasar kendaraan yang cukup besar, berputarnya roda bisnis multifinance juga didukung oleh bank-bank yang bersemangat menggandeng perusahaan pembiayaan untuk menggarap pasar pembiayaan otomotif.
Aba-aba tentang adanya bahaya bubble pembiayaan otomotif diprediksi tidak akan mengurangi semangat perusahaan multifinance dan bank untuk menggarap pasar kendaraan bermotor yang potensinya masih besar. Sebab, dibandingkan dengan populasi yang mencapai 240 juta jiwa, volume penjualan sebesar 800 ribu setahun masih kecil. Bandingkan dengan Malaysia yang hanya berpenduduk 27 juta tapi volume penjualan mobilnya sebesar 600-an ribu per tahun. Karena populasi yang besar itu, penjualan mobil di Indonesia sebesar 1 juta yang semula diprediksi terwujud pada 2014 diproyeksikan bisa tercapai lebih cepat. Bahkan, penjualan mobil 1 juta unit bukan tidak mungkin tercapai pada 2014.
Menurut Biro Riset Infobank, penjualan itu bisa tercapai dengan catatan tidak ada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, laju inflasi terkendali, krisis utang Yunani tidak meledak dan menjalar ke negara lain, dan BI masih menerapkan suku bunga acuan (BI rate) di bawah 7%. APPI sendiri optimis bahwa pembiayaan industri multifinance pada akhir 2011 mencapai Rp275 triliun, dimana 75% atau Rp206 triliunnya berasal dari pembiayaan otomotif baik mobil maupun sepeda motor.
Pembiayaan otomotif memang telah menjadi jalur basah bagi pertumbuhan aset industri multifinance. Jika menyimak rasio kepemilikan kendaraan di Indoensia yang masih rendah dan tren meningkatnya pendapatan perkapita masyarakat, cukup beralasan jika para pelaku di industri multifinance meyakini bahwa bubble otomotif belum terjadi. Apalagi, kredit konsumsi untuk kendaraan terbilang lancar. Justru yang pantas untuk dikeluhkan adalah buruknya infrastruktur jalan dan kemacetan yang menciptakan pemborosan.
Kendati industri multifinance optimis dengan target bisnisnya dan meyakini pembiayaan otomotif masih jauh dari bubble otomotif, para praktisi di industri ini harus selalu hati-hati dan tidak jor-joran menurunkan uang muka (down payment) untuk menjaga kualitas aset produktifnya. Sebab, selain karena faktor eksternal yang tak mudah ditebak, kelangsungan kinerja perusahaan pembiayaan sangat tergantung dari perilaku dan strategi para pengurusnya dalam menjalankan perusahaan.
(Dimuat di Majalah Infobank Nomor 389 Agustus 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar