Kamis, 28 Juli 2011

PERJAMUAN SAKRAL BANK DAN PARA DEWA

Jangankan para Dewa sebagai manifestasi Tuhan yang patut dipuja, masyarakat Bali merasa tidak pantas jika membiarkan pepohonan dan patung-patung yang membisu itu telanjang tanpa busana. Bank-bank di Bali pun sangat menghormati itu. Sesajian sebagai bentuk perjamuan dengan alam dan lingkungan, mendapatkan tempat yang sama pentingnya dengan menjamu nasabah, seperti dilakukan Bank Sinar Harapan Bali. Karnoto Mohamad
 
JULUKAN “Pulau Dewata” yang disandang Pulau Bali tidaklah berlebihan. Di sana segalanya memang terlihat begitu eksotik. Mulai dari para wanitanya yang memancarkan kecantikan alami, hingga pesona alam pantai dan keluhuran budaya yang disanjung dunia. Di Bali, segalanya dihormati eksistensi. Pepohonan dan patung-patung penjaga saja dibalut busana kain poleng hitam dan putih. “Selain ada artinya, kain itu untuk penutup supaya tidak telanjang,” ujar Ida Bagus Ketut Dape, seorang pemangku saat ditemui Infobank di Pura Jagadnatha, Denpasar, awal Juli lalu.
Selain alamnya yang menawan, Pulau Bali tampak menawan dengan patung-patung Dewanya yang bernilai seni tinggi dengan muatan makna religius yang dalam. Atmosfir Bali yang dibalut aroma mistis dari dupa nan wangi serasa melambungkan jiwa orang yang merasakannya. Apalagi, jika menghirup aroma dupa yang membumbung dari Canang, bentuk sesajian yang ditemui di ruang-ruang persembahyangan seperti Pura ataupun Sanggah.
Uniknya, aroma sesajian itu tak hanya bisa ditemui di tempat-tempat perubadatan. Di ruang-ruang perkantoran dan lembaga bisnis di Bali selalu dihiasi sesaji. Jangan heran, begitu memasuki ruangan kantor bank-bank di Bali, auranya terasa jauh berbeda dengan ruangan kantor bank-bank di daerah lain.
Terlebih lagi jika nasabah menginjakkan kaki di kantor pusat Bank Sinar Harapan Bali di Jalan Melati, Denpasar. Tepat di tengah-tengah pintu utama gedung, Patung Ganesha berbusaha putih dan kuning sebagai warna yang melambangkan kesucian, tampak berdiri penuh wibawa. Selain lambang pengetahuan, ucap Ida Bagus Perdana, Direktur Utama Bank Sinar Harapan Bali, saat ditemui Infobank medio Juli, “Ganesha juga simbol kebijaksanaan.”
Jika tak bisa merasakan energi yang tak terlihat di kantor Bank Sinar, setidaknya seikat canang sari yang cantik dan semerbak aromanya bisa dirasakan panca indera. Tapi, aura mistik rasanya sulit ditepis jika merambah ke sudut depan bagian kiri areal kantor Bank Sinar yang beraset Rp398 miliar pada 2008 lalu. Di pojok depan kantor yang menghadapi ke arah timur itu, terdapat areal sakral seluas sekitar 4x4 meter.
Di areal tersebut, para karyawan Bank Sinar di kantor pusat biasa menyempatkan diri untuk bersembahyangan untuk memuja Sang Pencipta yang bermanifestasi melalui Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa. Di situ, terlihat pula patung Dewa Surya sang pemberi penerang dan Dewa Sedana sang pemberi kekayaan yang dipercaya salah satu dari sekian banyak manifestasi Tuhan.
Bank Sinar yang lahir dan tumbuh di daerah yang kaya dengan nilai-nilai budaya lokal, merasa tak pantas mencampakkan nilai-nilai luhur yang diwariskan para leluhur. Untuk melestarikannya, bank ini tak hanya menjamu para dewa yang disimbolkan dalam wujud patung tapi juga menebarkan ajaran-ajaran religius ke dalam organisasi, mulai dari berdoa di dalam kantor sebelum bekerja hingga menyembang Tuhan di tempat peribadatan. “Supaya kita terhindar dari hal-hal yang tak diinginkan,” ujar Ida Bagus Kade Perdana, Direktur Utama Bank Sinar kepada Infobank di Denpasar Juli lalu.
Selain beragam bentuk ritual, anggota organisasi juga dibimbing Perdana untuk mematuhi ajaran-ajaran filosofis untuk memajukan banknya. Salah satunya melalui filosofi Tri Kaya Parisudha, yang artinya berpikir yang benar, berbicara yang benar, dan berbuat yang benar. “Dan itu bisa menjadi inti pelayanan kepada nasabah,” ujar Perdana kepada Infobank di Denpasar Juli lalu. Ada pula filosofi Pang Pada Payu yang berarti saling menguntungkan baik untuk pemilik bank, karyawan, dan nasabah.
Selain membuat merasa nyaman, langkah Bank Sinar untuk menjalankan ajaran-ajaran leluhur itu mendapatkan pujian dari Ida Pedanda Made Gunung, seorang ulama Hindu yang sangat dihormati Bali. “Saya sangat cocok dengan apa yang dilakukan Bank Sinar yang memelihara local genuine,” ujarnya saat ditemui Infobank di pesraman-nya yang teduh di Griya Gede Kemenuh, Blahbatuh, Gianyar, Bali.
Menurut pendeta yang kondang dengan sebutan Pedanda Gunung ini, kearifan lokal menjadi rambu-rambu dharma untuk mencegah ke dalam kesesatan. Bila kegiatan usaha seperti perbankan menggunakan dharma sebagai landasan, maka institusi tersebut memiliki kemampuan untuk melipatgandakan kinerja dan mencapai tujuan yang ditetapkan. Sebab, “Tidak ada Artha yang diperoleh tanpa melalui Dharma,” ucap Pedanda Gunung sambil mengupas ajaran Catur Purusa Artha sebagai kekuatan atau dasar menuju kebahagiaan.
Nilai-nilai kearifan lokal bermuatan spiritual yang dilestarikan Bank Sinar bukan hanya terasa meneduhkan tapi juga memperkuat jati diri dari gelombang perubahan zaman. Karena keunikan nilai-nilai yang dianutnya, Bank Sinar yang dikelompokan ke dalam bank kecil terlihat memikat dan menjadi rebutan Bank Mandiri dan Bank Negara Indonesia pada 2007.
Mandiri yang kemudian berhasil meminangnya pun ingin menjadikan Bank Sinar sebagai role model bank-bank di daerah yang menunjung budaya lokal. Nilai-nilai luhur yang dijunjung Bank Sinar memang pantas disimak ketika derasnya gelombang budaya dan korporasi asing membuat jati diri orang Indonesia tenggelam dalam sampah peradaban berwajah materialistis dan keserakahan. (Sudah dimuat di Majalah Infobank edisi Agustus 2009)