Kamis, 17 November 2011

KOALISI MANDIRI-BCA SETELAH “DIPAKSA” BI

Interkoneksi jaringan ATM bank-bank belum memuaskan cita-cita BI yang ingin mendorong terciptanya interkoneksi nasional. Interkoneksi ATM Mandiri dan ATM BCA karena desakan BI? Adu banyak ATM masih terjadi? Karnoto Mohamad
EMPAT hari sebelum hari Idul Fitri akhir Agustus lalu, Darmin Nasution, Gubernur Bank Indonesia (BI) memanggil dua bankir papan atas ke “markas”-nya di Jalan Thamrin, Jakarta. Keduanya adalah Zulkifli Zaini yang menahkodai Bank Mandiri dan Jahja Setiaatmadja yang menjabat Direktur Utama Bank Central Asia (BCA). Menurut sumber Infobank, pemanggilan kedua petinggi bank raksasa itu berkaitan dengan efisiensi pembayaran melalui interkoneksi jaringan automatic teller machine (ATM). “Bukan dipanggil, tapi kami diajak bicara ya,” ujar Jahja sambil tersenyum saat dimintai konfirmasi oleh Infobank.
Mandiri dan BCA adalah dua bank terbesar sekaligus memiliki jaringan ATM terbanyak dan selama ini saling menutup diri. Hal ini sudah lama menjadi pembicaraan di BI sebagai regulator sistem pembayaran yang mendorong kedua bank dengan customer based sangat besar itu untuk saling menghubungkan jaringan ATM-nya. Dan pemanggilan petinggi BCA dan Mandiri Agustus lalu tentu bertujuan untuk mendesak kedua bank itu. Di depan gubernur bank sentral yang memberi tempo dua bulan itu, Zulkifli dan Jahja akhirnya berjabat tangan sebagai tanda setuju melakukan interkoneksi.
Jika kerjasama Mandiri-BCA tersebut terwujud karena desakan BI, boleh jadi interkoneksi ATM tersebut bukan karena kepentingan bisnis kedua bank itu. Apakah kesediaan Mandiri masuk ke Prima dan BCA masuk ke Link hanya semata-mata untuk menuruti kehendak BI?  “Ini lebih pertimbangan bisnis disamping untuk meningkatkan kenyamanan nasabah,” tepis Zulkifli Zaini secara diplomatis kepada Dwi Setiawati dari Infobank saat dimintai klarifikasi mengenai motif dari interkoneksi dengan ATM BCA.
Yang jelas, Mandiri dan BCA adalah bank papan atas yang terus bertarung merebut dana murah dan adu balap di bidang transaksional. Keduanya juga menjadikan ATM sebagai salah satu electronic delivery channel untuk menguasai pasar ritel. Sampai akhir 2010, BCA masih mempertahankan posisinya sebagai bank dengan ATM paling banyak. Tapi, Mandiri sangat ekspansif memperkuat infrasrtuktur teknologi informasi (TI) dan memperluas jaringan sejak dua tahun terakhir.
Pada 2011, belanja modal Mandiri mencapai US$110 juta, lebih besar dari anggaran 2010 yang sebesar US$75 juta. Per Juni lalu, ATM Mandiri sudah mencapai 8.480 unit, melebihi ATM BCA yang banyak 7.709 unit. Rico U. Frans, Senior Vice President e-Banking Group Mandiri, mengatakan bahwa Mandiri menargetkan memiliki ATM hingga 8996 unit sampai akhir 2011. “Tahun ini kami menambah ATM baru 1.500 unit plus meremajakan 1.000 unit. Tahun depan kurang lebih sama segitu,” ujarnya kepada Infobank Oktober lalu.
Mandiri dan BCA memiliki pangsa hampir 45% dari total ATM di Indonesia yang saat ini mencapai lebih dari 40.000 unit. Bahkan, dalam penggunaan layanan ATM plus debit per September 2011, keduanya menguasai pangsa 64%. Detilnya, BCA menguasai pangsa 15% dari segi jumlah dan 34% dari total volume transaksi. Sedangkan Mandiri memiliki pangsa 14,70% dari sisi jumlah dan 19,80% dari total volume transaksi.
Tahun depan, Mandiri masih akan menjadi bank dengan ATM paling banyak, dan BCA membututinya di urutan kedua. “Setiap tahun kami menambah mesin ATM 1000 hingga 2000 unit,” ujar Jahja. Bank besar lain yang belakangan sangat agresif menggarap pasar ritel melalui layanan elektronik adalah Bank Rakyat Indonesia (BRI). Per Juni 2011, ATM BRI mencapai 6.772 unit. (Lihat: Peringkat 20 Bank dengan ATM Terbanyak)
Sebagai penguasa layanan ATM dan debit, wajar Mandiri dan BCA saling berkompetisi serta cenderung menutup diri untuk interkoneksi. Apalagi BCA yang sudah lama unggul dalam bisnis transaksi dan menguasai pasar tabungan tentu tak mau e-channel-nya dicantolin sembarangan bank yang berisiko menggerogoti kue tabungannya. Di sisi lain, dalam roadmap sistem pembayaran BI, regulator sudah lama mendorong terciptanya interkoneksi semua jaringan ATM di Indonesia. Konsep ini sejalan dengan pola share service dalam arsitektur teknologi perbankan Indonesia (ATPI) yang dibuat Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas).
Selama ini, dengan banyaknya switching, bank-bank harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk bergabung dengan beberapa jaringan ATM. Sebab, untuk masuk ke dalam satu jaringan bank harus mengeluarkan biaya membership. Jika semua ATM sudah tersambung, maka bank tinggal colok satu jaringan dan otomatis bisa terhubung ke seluruh ATM di Indonesia.
Kendati koneksi ATM Mandiri dan BCA berkat dorongan BI, namun seperti kata Aribowo, Kepala Biro Akunting dan Sistem Pembayaran BI, kerjasama Mandiri dan BCA bisa menjadi awal dari tahapan menuju national payment gateway (NPG). “Yang penting menurut saya adalah interkoneksi di tingkat switching merupakan konsep ideal bukan seperti konsep BCA dan Mandiri saja. Jadi bertahap ya, koneksi Link dan Prima dulu, pelan-pelan nanti connect semua,” ujar Aribowo kepada Infobank melalui BlackBerry Messanger bulan lalu.
 Selain Link dan Prima, ada dua lagi jaringan ATM nasional yaitu ATM Bersama dan Alto. ATM Bersama yang dikelola PT Artajasa Pembayaran Elektronis memiliki anggota 75 bank dengan jumlah jaringan ATM mencapai 30.000 unit. Sedangkan ATM Prima yang dikelola PT Rintis Sejahtera beranggotakan 42 bank dengan jaringan ATM 20.000. Setelah proses interkoneksi ATM Mandiri ke dalam jaringan Prima selesai, jaringan ATM Prima langsung melonjak menjadi 29.000 unit. Dengan kata lain, ATM Prima hampir menyaingi ATM Bersama dari sisi jumlah ATM yang dikelola, dan posisi tawar Rintis meningkat untuk menolak rencana regulator untuk memunculkan super switching sebagai operator National Payment Gateway (NPG). (Lihat: Merangkul Rintis, Menggertak Indosat).
Yang jelas, arah regulator untuk mengkoneksikan seluruh ATM yang ada di Indonesia makin memperketat perebutan dana pihak ketiga (DPK) terutama tabungan. Jika sebelum interkoneksi, BCA memiliki eksklusivitas untuk mempertahankan loyalitas nasabah dengan jaringan ATM yang luas, kini BCA harus bekerja lebih keras dengan kualitas pelayanan yang ditingkatkan agar migrasi dana tabungan tak mudah pindah ke bank Mandiri yang empat tahun terakhir dipuji karena pelayanan primanya.
Sedangkan Mandiri sendiri yang ATM-nya sudah terhubung ke jaringan ATM Link, ATM Bersama, dan ATM Prima, harus mempertahankan level pelayanannya. Sebab, seperti diakui manajemen Mandiri, penambahan basis nasabah yang diiringi lonjakan transaksi berisiko menurunkan service level jika tidak diikuti penguatan infrastruktur. Apalagi, ATM Mandiri kini bisa diakses oleh seluruh nasabah seluruh bank yang ada di Indonesia.
Di sisi lain, pertumbuhan transaksi merupakan indikator yang positif. Sebab, penghimpuan dana murah akan meningkat dan bisa bisa menggali fee based income melalui berbagai fitur-fitur pembayaran. Ketika lonjakan transaksi tumbuh signifikan, memanfaatkan interkoneksi ATM saja tidaklah cukup. Sebab, bank-bank harus menambah ATM baru baik dengan membeli sendiri maupun outsourcing karena secara industri jumlah nasabah terus bertambah. Selain itu, bank-bank papan atas yang menerima lonjakan transaksi juga harus giat mengembangkan SMS banking, internet banking, dan mobile banking, sebagai e-channel lain yang ke depan makin menjadi tren.

PERINGKAT 20 BANK DENGAN ATM TERBANYAK
No.
NAMA BANK
Jun-11
1
MANDIRI*
8.993
2
BCA
7.709
3
BRI
6.722
4
BNI
5.169
5
BANK CIMB NIAGA
1.510
6
BANK DANAMON ***)
1.083
7
BII
1.017
8
BTN ***)
745
9
PANIN BANK **)
694
10
BANK PERMATA
639
11
BANK OCBC NISP
627
12
BANK MEGA ***)
570
13
BANK JABAR BANTEN
432
14
BANK BUKOPIN ***)
369
15
BANK SYARIAH MANDIRI ***)
360
16
BANK DKI *)
350
17
BANK SINARMAS ***)
210
18
BANK SUMUT ***)
151
19
BANK SUMSEL ***)
142
20
BANK UOB INDONESIA ***)
141

Keterangan:


*): per September 2011


**): per Maret 2011


***): per Desember 2010


Sumber: Biro Riset Infobank (birI)



Notes: Tulisan ini sudah dimuat di Majalah Infobank Edisi 392 November 2011

Kamis, 22 September 2011

Multifinance Amid Threat Of Automotive Bubble

Multifinance Amid Threat Of Automotive Bubble

               The multifinance industry continues to grow with the leasing sector, particularly motor vehicles, as the main force. Even automotive producers and the banking industry have recognized the expertise of multifinance companies in the automotive leasing business. Still, many in the business sector fear that easy process  on motor vehicle loan application will create “automotive bubble” and the multifinance industry will suffer from its impact. What is the prospect of multifinance business if continuously dominated by  automotive leasing ? What are the results of the 2011 Infobank 161 Multifinance  Rating?

By Karnoto Mohamad

            The impressive absorption capacity of the Indonesian motor vehicle market has made  the automotive business players beaming. Last year, car sales reached 717,258 units, a 48 percent growth from the previous year. It exceeded car sales in Malaysia in 2010, which only reached 605,156 units. Automotive exhibition, like the ongoing Indonesia International Motor Show (IIMS) which has always been packed by visitors, is a showcase of how enthusiastic the market is in responding to the influx of new cars. After booking sales of 417,687 units in the first semester, many have predicted that car sales could reach 830,000 units by year end.
Besides cars, growth in the automotive business has also been propelled by sales of motorcycles. Last year, motorcycle sales reached 7.37 million units and are projected to reach 8.3 million units this year. Such high sales of cars with price tags of  Rp150 million and above, does not automatically indicate the increasing wealth of Indonesian people. A research by Frost & Sullivan shows that Indonesians have to save their money for 104 months, or 8.6 years, in order to get a new car. Compared with Malaysians, who because of their higher salaries can have a new car in eight months. Meanwhile, those in Thailand can get a new car in 19 months and the Philippines in 21 months.
            The high sales of automotive vehicles in Indonesia is driven by poor mass  transportation services and relatively easy process of loan application from financial institutions. Multifinance companies expertise in offering express motor vehicles leasing services is widely known. The banking industry, which has cheap funds , avoids the competition and choose to cooperate with multifinance companies in the forms of loans scheme, joint financing and channeling. Even, more intimate cooperation has been implemented by top banks, by controling shares of leasing companies.
            Cooperation between banks and multifinance industry has generate a huge energy that  propel significant growth in sales of automotive products. It is reasonable because 90 percent of motor vehicles purchase are made through consumer loan schemes. However, the easy process of  automotive loan had been warned by the Central Bank (BI). According to Hartadi A Sarwono, Central Bank Deputy Governor, the potential for an automotive bubble is already seen, with very rapid demand from consumers.
            However, players in the multifinance business dismiss this anxiety. According to Wiwie Kurnia, chairman of the Indonesian Multifinance Companies Association (APPI), motor  vehicles sales growth is still normal and the Non-Performing Loan (NPL) has also decreases. “If the automotive bubble is certain, it is dangerous for all sectors, including the Indonesian economy. But bubble or not, base on what?,  the automotive sector is still okay because their growth is still normal and the NPL decreases,” he told Infobank via BlackBerry Messenger.
            According to the Infobank Research Bureau , the Non-Performing Loan (NPL) in the multifinance industry is 1,32 percent per April 2011. It is lower than the NPL at end of 2010 which was 1,37 percent or end of 2009 which was 1,91 percent. The increasing performance of the multifinance industry can also be seen from the 34.10 percent increase of their assets to Rp222.20 trillion and their leasing activities increased of 33.30 percent to Rp182.86 trillion in 2010.
            The strengthening performance is in line with efforts to discipline the multifinance industry by the Capital Market and Financial Institutions Supervisory Agency (Bapepam-LK) as the regulator. In the last few years, Bapepam-LK has been firm by revoking the licenses of notorious and unserious companies. If there were 217 leasing companies in 2007, the figure was down to 192 by the end of last year.
According to Ihsanuddin, Head of the Financing Bureau of Bapepam-LK, there were 13 companies whose licenses were revoked in 2010. “Their licenses were revoked for various reasons. Some have been inactive for a long time, others were already bankrupt and cannot be tolerated anymore,” he said in closed discussion with the Editorial members of Infobank.
Other reasons were because they have shifted their business activities to other fields, such as general trading or mining. “But, most of them were revoked because the violations they had committed and the owners’ reluctance to increase their capital,” added Ihsanuddin.
Up until July this year, there were no multifinance companies licenses revoked. But, 28 companies have been sanctioned by Bapepam-LK for various cases of disobedience. A majority of them or  20 companies, were late in submitting their audited reports. Seven companies were sanctioned after an investigation, two of them were given a second Warning Letter. If these two companies fail to respond to the regulator’s demand to improve themselves, there is a great possibility that their licenses will be revoked.
Besides imposing firm sanctions, the regulator has also tightened the screening of  multifinance companies management that are competence and has integrity. Bapepam LK move to increase the evaluation quality in the fit-and-proper test in 2010 has made a lot of candidates for the posts of director and commissioner in leasing companies failed in the screening process. According to Bapepam-LK Financing Bureau data, in 2009, out of 142 candidates participating in the fit-and-proper test, nine of them didn’t passed. In 2010, from 142 participants, 10 of them had failed to pass. And within the first semester of 2011, from 110 participating in the test, only eight of them passed.
            Efforts by the regulator to discipline the industry and tighten multifinance companies  management qualification are expected to make the multifinance companies more healthy, compliant and managed by competent practitioners. According ot the Infobank Research Bureau data, of the 192 licensed companies, only 159 of them have published their publication reports. However, the number of companies which do not publish such reports have decreased.
In the 2011 Infobank 161 Multifinance Rating,  85 companies were awarded “very good”, an increase from last year’s of 75 companies. A majority of them are  top leasing companies.
Of leasing companies with assets of Rp1 trillon and above, 25 were awarded “very good”. The top 10 are: 1) BFI Finance Indonesia; 2) Adira Dinamika Multi Finance; 3) BCA Finance; 4) FIF; 5) Clipan Finance Indonesia; 6) Mandala Multifinance; 7) Multindo Auto Finance; 8) Swadharma Bhakti Sedaya Finance; 9) Buana Finance; and 10) Sunprima Nusantara Pembiayaan.
Of companies with assets of Rp100 billion up to and below Rp1 trillion, 47 were awarded “very good”. The top 10 are: 1) Batavia Prosperindo Finance; 2) Asrta Multi Finance; 3) National Finance; 4) Smart Multi Finance; 5) Beta Inti Multifinance; 6) Resona Indonesia Finance; 7) Trust Finance Indonesia; 8) Mega Auto Finance; 9) Bentara Sinergies Multifinance, and 10) CIMB Niaga Auto Finance.
Meanwhile, companies with assets below Rp 100 billion, only 13 were awarded “very good”.  The top 10 are: 1) Prataam Sedaya Finance; 2) Danareksa Finance; 3) Jaya Fuji Leasing Indonesia; 4) AEON Credit Services Indonesia; 5) Tirta Larastama Dinamika Finance; 6) Murni Upaya Raya Nilai Into Finance; 7) Otomas Multifinance; 8) Fortuna Multifinance; 9) Sumber Artha Mas Finance; and 10) Reksa Finance.
Most of the “very good“ winners  booked growth and profits above average.  Players, whose portfolio is dominant in motor vehicles, could even book a multiple growth.  Besides the high demand on vehicles, the growth of multifinance business is also driven by banks which are enthusiastic in tieing up with leasing companies to tap the automotive leasing market.
Even with signals of dangerous automotive bubble will not weaken the enthusiasm of multifinance companies and banks to tap the motor vehicles market, whose potentials are still huge. Reason is compared with to the Indonesian population of 240 million, sales volume of 800,000 units per year is still small. Take a look at Malaysia, which has only 27 million population, but car sales volume of 600,000 units per year. It is due to Indonesia’s huge population, the initial target of 1 million units of cars sold in 2014 can be achieved faster.
According to the Infobank Research Bureau, the above sales figure can be achieved on condition that there is no price hike on subsidized fuel,  inflation rate is manageable,  the Greece debt crisis does not explode and extend to other countries, and the Central Bank (BI) still imposes the BI rate below 7 percent. APPI  is optimistic that the multifinance industry will reach Rp275 trillion by end of 2011, where 75 percent or Rp206 trillion, will come from the automotive leasing sector, both car and motorcycle.
Automotive leasing has been the main source for the multifinance industry assets growth.  If we take a look at the ratio between the relatively low car ownership in Indonesia and the increasing trend of the people’s income per capita, it is quite  reasonable if the multifinance industry players are confident that the automotive bubble has yet to happen. Moreover, consumer credit for motor vehicles are relatively smooth. What needs to be our main concern instead  is the poor road infrastructures and traffic gridlocks that cause waste.
Although the multifinance industry is optimistic with its business target and confident that the automotive leasing industry is still far from reaching the ”automotive bubble”, players in the industry must remain careful and does not easily lower the downpayment in order to maintain the quality of its productive assets. Besides unpredicted external factors,  the sustainability of a leasing company depends on the attitude and the strategy of its management in running the company.
(This article has been published in Infobank Magazine - No 389 August 2011)

MULTIFINANCE DI TENGAH ANCAMAN BUBBLE OTOMOTIF

             Industri multifinance terus tumbuh dengan mesin utama dari pembiayaan konsumsi terutama produk kendaraan bermotor. Produsen otomotif dan kalangan perbankan pun mengakui kepiawaian perusahaan multifinance dalam bisnis pembiayaan otomotif. Tapi, kemudahan kredit kendaraan bermotor dikhawatirkan bisa menciptakaan “bubble” otomotif dan industri multifinance akan terseret jika itu terjadi.  Bagaimana prospek bisnis multifinance jika terus didominasi pembiayaan otomotif? Bagaimana hasil Rating 161 Multifinance versi Infobank 2011?

Karnoto Mohamad

            DAYA serap pasar kendaraan bermotor membuat hati para pelaku bisnis otomotif berbunga-bunga. Tahun lalu, penjualan mobil mencapai 764.710 unit, tumbuh 58% tahun sebelumnya. Volume penjualan mobil nasional ini berhasil melewati penjualan mobil di Malaysia yang hanya sebesar 605.156 unit pada 2010. Ajang pameran otomotif seperti Indonesia International Motor Show (IIMS) yang selalu dipadati pengunjung menjadi etalase bergairahnya pasar dalam merespon mobil-mobil baru yang masuk ke pasar. Setelah membukukan penjualan mobil pada enam bulan pertama sebesar 417.687, banyak kalangan memprediksi penjualan mobil sampai akhir tahun bisa menembus lebih dari 830 ribu unit.
            Selain kendaraan roda empat, gairah pertumbuhan bisnis otomotif juga disokong penjualan kendaraan roda dua atau sepeda motor. Tahun lalu, penjualan sepeda  motor mencapai 7,37 juta dan diproyeksikan menembus 8,3 juta tahun ini. Tingginya penjualan mobil yang harganya Rp150 juta ke atas tidak serta-merta menggambarkan kemakmuran orang Indonesia. Sebab, menurut riset Frost & Sullivan, orang Indonesia harus menabung selama 104 bulan atau 8,6 tahun untuk mendapatkan mobil baru. Bandingkan dengan orang di Malaysia yang rata-rata gajinya hanya butuh waktu 8 bulan sudah dapat membeli mobil baru. Sedangkan Thailand yakni gaji 19 bulan dan Filipina gaji 21 bulan.
            Tingginya penjualan otomotif di Indonesia lebih didorong buruknya sarana transportasi massal dan kemudahan mendapatkan kredit dari lembaga keuangan. Perusahaan pembiayaan (multifinance) adalah lembaga yang diakui kepiawaiannya dalam menawarkan jasa pembiayaan kendaraan bermotor secara cepat. Perbankan yang memiliki sumber pendanaan murah, menghindari untuk bertarung dan memilih berkongsi dengan multifinance baik dengan pemberian kredit modal kerja, pembiayaan bersama (joint financing), maupun channeling. Bahkan, perkongsian yang lebih intim lagi sudah banyak terjadi dengan banyaknya bank-bank papan atas yang menguasai saham perusahaan pembiayaan.
            Perkongsian bank dan multifinance ini melahirkan tenaga besar yang mendorong penjualan otomotif terus tumbuh signifikan. Maklum, sekitar 90% pembelian kendaraan bermotor dilakukan secara kredit oleh konsumen. Namun, kemudahan kredit otomotif ini mendapatkan warning dari Bank Indonesia (BI). Menurut Hartadi A Sarwono, Deputi Gubernur BI,  potensi terjadinya bubble di sektor automotif sudah cukup terlihat dengan jumlah permintaan yang terlalu cepat.
            Namun, kalangan praktisi multifinance menepis kecemasan itu. Menurut Wiwie Kurnia, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), pertumbuhan penjualan kendaraan bermotor masih wajar, dan non performing loan (NPL) kreditnya juga menurun. “Kalau memang bubble sudah pasti bahana untuk semua pihak, termasuk ekonomi Indonesia. Tapi bubble atau tidak itu dasarnya apa, kalau sektor otomotif masih oke karena naiknya masih wajar dan NPL-nya turun,” ujarnya kepada Infobank lewat BlackBerry Messanger.
            Menurut Biro Riset Infobank, pembiayaan macet di industri multifinance sebesar 1,32% per April 2011. NPL ini menurun dibanding posisi akhir 2010 yang sebesar 1,37% atau pada akhir 2009 yang mencapai 1,91%. Meningkatnya performa industri multifinance juga terlihat dengan asetnya naik 34,10% menjadi Rp222,20 triliun dan pembiayaannya yang tumbuh 33,30% menjadi Rp182,86 triliun pada 2010.
            Penguatan kinerja ini sejalan dengan upaya mendisiplinkan industri multifinance oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) selalu regulator. Beberapa tahun terakhir, Bapepam-LK bertindak tegas dengan menyabut izin perusahaan yang bandel dan tak serius. Jika pada 2007 ada 217 perusahaan pembiayaan yang mengantongi izin, sampai akhir tahun lalu hanya 192 perusahaan yang mengantongi izin.
Menurut Ihsanuddin, Kepala Biro Pembiayaan Bapepam-LK, sepanjang 2010 pihaknya mencabut izin 13 perusahaan multifinance. “Masalahnya bervariasi.  Ada yang sebetulnya mereka sudah lama tidak melakukan kegiatan usaha, akhirnya sudah jebol, dan kami tidak bisa memberi ampun lagi.  Lalu, karena akibatnya diam  terus sehingga ekuitasnya ikut jebol,” ujarnya dalam diskusi tertutup dengan tim redaksi Infobank.
Penyebab dicabutnya izin perusahaan multifinance juga ada yang dikarenakan karena sudah mengalihkan kegiatan usaha ke bidang lain seperti perdagangan umum atau pertambangan. “Tapi, rata-rata yang dicabut itu karena pelanggaran-pelanggaran  yang dilakukan dan pemiliknya tidak mau menambah modal,” imbuh Ihsanuddin.
Tahun ini sampai Juli lalu, belum ada perusahaan multifinance yang izinnya dicabut. Tapi, ada 28 perusahaan yang telah diberi sanksi dari Bapepam-LK karena berbagai ketidakpatuhan.  Sebagian besar atau 20 perusahaan dinilai terlambat membuat laporan audited. Ada tujuh perusahaan diberi sanksi karena pemeriksaan, dan dua diantaranya telah diberi surat peringatan kedua. Kalau dua perusahaan yang bandel ini tidak merespon regulator untuk memperbaiki diri, sangat mungkin mereka akan membuat industri ini kembali diwarnai pencabutan izin tahun ini.
Selain bertindak tegas, regulator juga memperketat penyaringan pengurus-pengurus perusahaan multifinance yang berkompeten dan berintegritas. Langkah Bapepam LK meningkatkan kualifikasi penilaian dalam fit and proper test pada 2010 membuat banyak calon direksi dan komisaris perusahaan pembiayaan yang tak lulus. Menurut data Biro Pembiayaan Bapepam-LK, Pada 2009, dari 142 orang yang mengikuti fit and proper test ada 9 orang tak lulus. Pada 2010, dari 142 orang ada 10 yang tak lulus. Dan pada enam bulan pertama 2011, dari 110 orang yang mengikuti tes hanya 8 yang lulus.
            Upaya regulator mendisiplinkan industri dan memperketat kualifikasi pengurus perusahaan multifinance diharapkan membuat perusahaan multifinance makin sehat, taat aturan, dan dikelola oleh praktisi yang berkompeten. Menurut data Biro Riset Infobank, dari 192 perusahaan yang mengantongi izin, hanya 159 perusahaan yang menerbitkan laporan publikasi. Namun, jumlah pemain yang tak mengeluarkan laporan keuangan ini mengalami penurunan jumlahnya.
Dalam Rating 161 Multifinance Versi Infobank 2011, jumlah perusahaan pembiayaan yang meraih predikat “sangat bagus” mencapai 85 perusahaan, bertambah dari rating sebelumnya yang sebesar 75 perusahaan. Mayoritas perusahaan pembiayaan papan atas mampu meraih predikat ‘sangat bagus”.
Untuk kelompok perusahaan pembiayaan beraset Rp1 triliun ke atas ada 25 pemain yang mencetak predikat “sangat bagus”. Dari perolehan skor teratas 10 pemainnya secara berurutan adalah 1) BFI Finance Indonesia; 2) Adira Dinamika Multi Finance; 3) BCA Finance; 4) FIF; 5) Clipan Finance Indonesia; 6) Mandala Multifinance; 7) Multindo Auto Finance; 8) Swadharma Bhakti Sedaya Finance; 9) Buana Finance; dan 10) Sunprima Nusantara Pembiayaan.
Untuk kelompok perusahaan pembiayaan beraset Rp100 miliar sampai degan di bawah Rp1 triliun, terdapat 47 pemain yang meraih predikat “sangat bagus”. Dari sisi skor, 10 besarnya secara berurutan adalah 1) Batavia Prosperindo Finance; 2) Asrta Multi Finance; 3) National Finance; 4) Smart Multi Finance; 5) Beta Inti Multifinance; 6) Resona Indonesia Finance; 7) Trust Finance Indonesia; 8) Mega Auto Finance; 9) Bentara Sinergies Multifinance, dan 10) CIMB Niaga Auto Finance.
Sedangkan perusahaan dengan aset di bawah Rp100 miliar, hanya 13 pemain yang meraih predikat “sangat bagus”. Dari perolehan skor teratas 10 pemainnya secara berurutan adalah 1) Prataam Sedaya Finance; 2) Danareksa Finance; 3) Jaya Fuji Leasing Indonesia; 4) AEON Credit Services Indonesia; 5) Tirta Larastama Dinamika Finance; 6) Murni Upaya Raya Nilai Into Finance; 7) Otomas Multifinance; 8) Fortuna Multifinance; 9) Sumber Artha Mas Finance; dan 10) Reksa Finance.
Sebagian besar perusahaan pembiayaan peraih predikat “sangat bagus” membukukan pertumbuhan pembiayaan maupun laba di atas rata-rata. Pemain yang portofolio pembiayaan dominan di kendaraan bermotor bahkan mampu mencetak pertumbuhan berlipat ganda. Selain permintaan pasar kendaraan yang cukup besar, berputarnya roda bisnis multifinance juga didukung oleh bank-bank yang bersemangat menggandeng perusahaan pembiayaan untuk menggarap pasar pembiayaan otomotif.
Aba-aba tentang adanya bahaya bubble pembiayaan otomotif diprediksi tidak akan mengurangi semangat perusahaan multifinance dan bank untuk menggarap pasar kendaraan bermotor yang potensinya masih besar. Sebab, dibandingkan dengan populasi yang mencapai 240 juta jiwa, volume penjualan sebesar 800 ribu setahun masih kecil. Bandingkan dengan Malaysia yang hanya berpenduduk 27 juta tapi volume penjualan mobilnya sebesar 600-an ribu per tahun. Karena populasi yang besar itu, penjualan mobil di Indonesia sebesar 1 juta yang semula diprediksi terwujud pada 2014 diproyeksikan bisa tercapai lebih cepat. Bahkan, penjualan mobil 1 juta unit bukan tidak mungkin tercapai pada 2014.
Menurut Biro Riset Infobank, penjualan itu bisa tercapai dengan catatan tidak ada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, laju inflasi terkendali, krisis utang Yunani tidak meledak dan menjalar ke negara lain, dan BI masih menerapkan suku bunga acuan (BI rate) di bawah 7%. APPI sendiri optimis bahwa pembiayaan industri multifinance pada akhir 2011 mencapai Rp275 triliun, dimana 75% atau Rp206 triliunnya berasal dari pembiayaan otomotif baik mobil maupun sepeda motor.
Pembiayaan otomotif memang telah menjadi jalur basah bagi pertumbuhan aset industri multifinance. Jika menyimak rasio kepemilikan kendaraan di Indoensia yang masih rendah dan tren meningkatnya pendapatan perkapita masyarakat, cukup beralasan jika para pelaku di industri multifinance meyakini bahwa bubble otomotif belum terjadi. Apalagi, kredit konsumsi untuk kendaraan terbilang lancar. Justru yang pantas untuk dikeluhkan adalah buruknya infrastruktur jalan dan kemacetan yang menciptakan pemborosan.
Kendati industri multifinance optimis dengan target bisnisnya dan meyakini pembiayaan otomotif masih jauh dari bubble otomotif, para praktisi di industri ini harus selalu hati-hati dan tidak jor-joran menurunkan uang muka (down payment) untuk menjaga kualitas aset produktifnya. Sebab, selain karena faktor eksternal yang tak mudah ditebak, kelangsungan kinerja perusahaan pembiayaan sangat tergantung dari perilaku dan strategi para pengurusnya dalam menjalankan perusahaan.
(Dimuat di Majalah Infobank Nomor 389 Agustus 2011)